Kita Bukan Hamba Ramadan
Ramadan selalu datang dengan pesona yang tak tergantikan. Ia mengetuk pintu-pintu hati yang mungkin telah lama tertutup oleh kesibukan dunia. Ia menyuguhkan nuansa langit yang berbeda-di mana malam-malam menjadi hidup, dan siang menjadi ruang latihan bagi kesabaran. Tapi selalu ada ironi yang berulang: saat Ramadhan datang, semangat ibadah begitu tinggi; namun begitu ia pergi, semangat itu turut menghilang. Masjid kembali sepi, mushaf kembali tertutup, dan malam kembali sunyi.
Pasca Ramadhan, banyak orang kembali pada kebiasaan lama: shalat kembali terburu-buru, Al-Qur'an kembali berdebu, dan hati kembali tertutup dari rasa khusyuk. Seolah-olah taat hanya berlaku pada bulan tertentu. Bahkan sebagian merasa "bebas" setelah Ramadhan usai, seakan Ramadhan adalah penjara dan syawal adalah pembebasan. Ini adalah gejala serius. Ketika ibadah tidak lagi menjadi kebutuhan ruhani, melainkan sekadar rutinitas semusim, di situlah iman mulai mengering.
Lalu kita bertanya, untuk siapa sebenarnya semua itu dilakukan? Apakah kita beribadah karena Allah, atau karena suasana Ramadhan? Jika ibadah hanya tumbuh ketika Ramadhan tiba, barangkali yang kita sembah bukan lagi Allah, tapi suasana Ramadhan itu sendiri. Di sinilah kita perlu merenung dalam: apakah kita hamba Allah, atau hanya hamba Ramadhan?
Fenomena Musiman dan Krisis Spiritualitas
Fenomena keagamaan yang musiman sebenarnya bukan hal baru. Di banyak masyarakat beragama, antusiasme spiritual sering bergantung pada momen-momen besar: Ramadhan, Idul Fitri, Maulid, atau bahkan saat bencana datang. Namun setelah suasana berlalu, ruh keagamaan kembali melemah. Ibadah menjadi ritual formal, atau bahkan ditinggalkan.
Padahal, Allah menegaskan dalam Al-Qur'an:
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين. (الحجر: 99)
"Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu al-yaqīn (kematian)." (QS. Al-Ḥijr: 99)
Ayat ini adalah deklarasi spiritual: ibadah adalah jalan panjang tanpa ujung kecuali ajal. Kita tidak berhenti beribadah hanya karena Ramadhan usai. Justru Ramadhan hadir untuk meneguhkan langkah kita di jalan ibadah sepanjang hayat.
Ramadhan Sebagai Madrasah, Bukan Tujuan
Ramadhan adalah madrasah jiwa. Ia bukan tujuan akhir, melainkan proses pembentukan. Kita ditempa untuk kembali mengenal diri, mengenali batas-batas hawa nafsu, dan menajamkan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Tapi nilai sebuah proses tidak diukur dari seberapa khusyuk kita di dalamnya, melainkan seberapa banyak perubahan yang kita bawa keluar darinya.
Syekh Muhammad al-Ghazali, ulama besar Al-Azhar, pernah menyampaikan:
"Bukan Ramadhan yang membuatmu dekat kepada Allah, tetapi hatimu yang tunduk dan amalmu yang terus-menerus setelahnya."
Maka pertanyaannya bukan lagi "apa yang kita lakukan selama Ramadhan?", tapi "apa yang kita bawa setelah Ramadhan berlalu?".
Syekh Ali Jum'ah, juga pernah berkata:
"Orang yang hanya taat pada Ramadhan, seperti pedagang yang membuka toko hanya satu bulan dalam setahun, lalu berharap untung besar. Ia sedang tertipu oleh semangat sesaat, bukan dibimbing oleh cinta kepada Allah."
Keteladanan Sahabat: Takut Ramadhan Berakhir
Para sahabat Rasulullah SAW. memberikan contoh yang sangat dalam tentang bagaimana mereka menyikapi Ramadhan. Mereka tidak hanya bersemangat di awal, tetapi juga menangis di akhir. Bukan karena sedih harus kembali makan siang, tapi karena khawatir amal mereka tidak diterima.
Selama enam bulan setelah Ramadhan, mereka terus memohon kepada Allah agar amal mereka diterima. Dan selama enam bulan berikutnya, mereka kembali berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan yang akan datang. Sebuah siklus spiritual yang tidak berhenti, yang menggambarkan bahwa Ramadhan adalah bagian dari kehidupan keimanan yang berkelanjutan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar penting dalam pendidikan ruhani. Konsistensi lebih berharga daripada intensitas sesaat. Dua rakaat di tengah malam secara rutin lebih utama dari seratus rakaat yang hanya dilakukan di malam ganjil Ramadhan, lalu dilupakan.
Ibadah sebagai Jalan Pulang
Dalam dunia yang serba cepat dan bising, ibadah seharusnya menjadi jalan pulang. Ia bukan beban, bukan rutinitas kosong, melainkan ruang tenang tempat kita bertemu kembali dengan makna keberadaan. Jika selama Ramadhan kita bisa menahan lapar, mengatur emosi, dan meluangkan waktu untuk Al-Qur'an, mengapa itu semua harus berakhir hanya karena kalender berganti?
Setan memang kembali dibebaskan setelah Ramadhan, tapi bukankah kita telah dibekali benteng-benteng keimanan selama sebulan penuh? Bukankah kita telah dilatih menjadi pejuang yang sadar diri? Maka Ramadhan seharusnya meninggalkan bekas. Jika tidak, mungkin yang kita nikmati selama ini hanyalah suasana, bukan substansi.
Tetap Istiqamah di Luar Ramadhan
Lalu, bagaimana menjaga semangat ibadah setelah Ramadhan?
-Lanjutkan kebiasaan ibadah, walau kecil. Jadikan tilawah Al-Qur'an, sedekah, atau qiyamul lail sebagai bagian dari rutinitas, meski dalam dosis kecil. Sedikit, tapi istiqamah, lebih baik daripada banyak tapi musiman.
-Jangan tunggu suasana baru untuk berubah. Jangan tunggu Ramadhan, musibah, atau momentum lain untuk memperbaiki diri. Setiap hari adalah kesempatan baru.
-Buat jadwal ibadah pribadi. Menulis target harian atau mingguan untuk tilawah, puasa sunnah, sedekah, dan sebagainya, akan membantu kita menjaga konsistensi.
- Bangun komunitas kebaikan. Ibadah akan lebih mudah dijaga ketika ada lingkungan yang mendukung. Bergabunglah dengan lingkaran-lingkaran kebaikan.
Kembalilah Menjadi Hamba Allah
Kita bukan hamba Ramadhan. Kita adalah hamba Allah. Ramadhan hanyalah kendaraan yang mengantar kita lebih dekat kepada-Nya. Tapi perjalanan harus terus berlanjut. Allah tidak pernah pergi. Kitalah yang sering menjauh.
Semoga kita mampu menjaga nyala iman yang telah dinyalakan selama Ramadhan. Dan semoga kita tidak sekadar menjadi baik selama satu bulan, lalu kembali seperti semula. Karena Tuhan kita adalah Rabb setiap bulan, setiap hari, setiap waktu.
كن ربانيا، ولا تكن رمضانيا
"Jadilah hamba Allah, bukan hamba Ramadhan".
Artikel ini ditulis oleh dosen Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dirilis melalui detik, 29 Maret 2025. Artikel dapat diakses di sini.